JANGAN MENCINTAINYA
By Chacha Asmad
1/8/2017
Aisyah berlari begitu cepat,
tangannya berayuh dengan kencang, napasnya sudah tersengal-sengal tapi tak juga
ia berhenti berlari. Handphone di tangan kirinya juga hampir terlepas dari
genggamannya tapi tetap saja tangannya diayunkan.
“Assalamu’alaikum pak!”
“Wa’alaikum salam! Aisyah?” Kamu
kenapa ngos-ngosan begitu, dari mana kamu? Kamu habis lari yah? Atau sedang apa
sampai terlihat lemas sekali?
Aisyah hanya terdiam. Ia berusaha
menenangkan dirinya. Mengatur nafasnya yang berlarian kesana kemari. Ia bahkan
tak mendengar jawaban dan pertanyaan yang bertubi-tubi dari laki-laki yang
disapanya pak itu.
“Haloo!!! Aisyah!
Aisyah!...Haloo!”
Kali ini Aisyah menatap mata
laki-laki didepannya. Ia mencoba mengumpulkan segala pikirannya pada laki-laki
itu.
“Selamat atas bapak karena telah
lulus menjadi dosen non PNS! Selamat ya pak!” Kata Aisyah dengan mata yang
masih menatap.
“Oh soal itu, ia terima kasih
atas ucapan selamatnya, tapi mungkin mata kamu bias dikedipkan? Soalnya nanti
sakit loh karena kejang”.
Aisyah langsung menunduk,
tangannya ia genggam. Setelah itu tangan kirinya memegang lehernya sambil
tersenyum malu. Tak lama kemudian kaki kanannya ia gerak-gerakkan dan setelah
itu ia sontak menunduk.
“Permisi pak!” Ujar Aisyah lalu
kembali berlari menjauhi laki-laki dihadapannya.
“Aneh, ada apa dengan anak itu,”
kata laki-laki itu sambil geleng-geleng kepala.
“Pak Imran, saya duluan yah, ada
urusan keluarga dan kebetulan jam mengajar saya sudah usai.
“Oh ia bu, baik hati-hati
dijalan, salam saya sama suami ibu”.
“Ok nanti saya sampaikan, ia
biasa nyari kamu loh, katanya kapan lagi pak Imran datang curhat soal cewek”.
“Heheh, nanti sajalah bu lagi
nggak ada bahan yang perlu dicerita”.
“Oh sudah ketemu yah? Cewek
seperti apa? Kenalin dong!”
“Belum bu, nggak ada bahan
maksudnya saya lagi nggak focus ke sana, banyak kerjaan soalnya, lagian ada
banyak tulisan yang harus saya selesaikan”.
“Oh gitu, kirain, ok saya duluan
yah!”
Pak Imran menunduk, matanya tetap
tertuju pada bu Ifa hingga pintu perpustakaan ditutup mahasiswa yang baru saja
masuk.
****
Matahari bersinar dengan
terangnya. Tak seperti kemarin yang selalu bersembunyi di balik awan. Mungkin ia
lagi jenuh menampakkan wajah cerianya pada insan bumi yang kadang suka kadang
tidak dengan sinar yang ia berikan. Mahasiswi berkerudung biru yang tertidur di
atas buku, salah seorang yang menyukai sinar matahari. Baginya matahari
bagaikan sahabat yang sangat mengerti perasaan yang dialaminya. Entah ia
gundah, gulana, bahagia, sedih, baginya matahari selalu ada untuknya. Seperti
sekarnag, hatinya sedang bahagia, dan ia pun melampiaskannya di bawah sinar
matahari.
“Astaghfirullah, Aisyah! Kamu mau
buta yah?”
“Loh Arin, siapa yang mau buta,
orang aku sedang bercakap-cakap sema matahari kok”.
“Ih, gila yah kamu, matahari di
ajak ngobrol, memang nggak ada makhluk lain apa yang lebih pantas di ajak
ngobrol?”
“Nggak ada, cuma matahari yang
bisa mengerti perasaanku”.
“Ih, aneh deh loe!” Kata Arin
sambil geleng-geleng kepala. Ia lalu mengambil buku berjudul pustakawan
inspiratif di dalam tasnya.
“Eh, Rin, kamu dengar nggak, pak
Imran sudah jadi dosen non PNS loh!”
“Terus!”
“Yah, aku senang dengarnya,” ujar
Aisyah sambil cengengesan.
“Memang tidak ada topik lain apa
selain pak Imran di mulut kamu, dari semester 1 sampai semester 3, pak Imran
yang selalu jadi bahan pembicaraan kamu”.
“Ya soalnya pak Imran itu orang
yang asyik dibicarakan,” jawab Aisyah kembali ia cengengesan.
“Eh Syah! Dengar yah, di dunia
ini nggak ada orang seperti kamu, dan biasanya jika ada satu makhluk dengan
kebiasaan aneh maka dia akan dianggap kelainan jiwa.
“Ih, jadi karena ngomongin pak
Imran, kamu bilang aku gila yah? Jahat bangat sih jadi sahabat,” ujar Aisyah
cemberut.
“Bukan gitu! Tapi kuping aku itu
udah capek bangat dengar kamu ngomong pak Imran terus, nggak bisa yah bahas
yang lain, bahas pelajaran atau apa kek”.
“Bahas pelajaran atau nggak juga
aku tetap jadi juara di kelas.”
“Eh, aku lagi nggak ngomongin
soal juara, dan ia-ia kamu memang jagonya kalau soal pelajaran di kelas, tapi…”
“Ok..ok…aku akan mencoba
mengikuti apa mau kamu katakana”.
“Benaran?”
Aisyah mengangguk sambil
tersenyum. Arin pun bernafas lega, ia kembali membaca buku ditangannya. Aisyah
pun kembali menghadapkan wajahnya dengan mata tertutup ke atas langit.
*****
Arin terus menerus berteriak di
depan pintu kostnya, tapi tak juga ia mendapat balasan dari teriakannya itu. Ia
mengetuk-ngetuk pintu itu dengan kerasnya tapi tak juga ada yang membukakannya.
Ia jadi bingung harus berbuat apa agar bisa masuk ke dalam kostnya. Baru saja,
ia datang dari kampus mengumpulkan tugas kuliah pada ketua tingkatnya, setalah
itu ia pergi ke rumah sakit menjenguk tantenya, habis itu ia pergi ke toko buku
membeli berbagai referensi untuk bahan makalah yang akan dia buat. Pergi ke
berbagai tempat membuatnya lelah dan ingin segara berbaring di atas
ranjangnnya. Tapi sudah begitu lama ia berdiri di luar, tak ada tanda-tanda
pintu kostnya akan terbuka.
Kuncinya di bawah Aisyah, anehnya
sepatu Aisyah tertanggal di depan kostnya. Itu berarti Aisyah sudah kembali,
tapi kenapa ia tak membukakan pintu buat Arin.
“Sudah habis kesabaran aku,
terpaksa kali ini aku akan menjadi je…….t…l….”
“Wa’alaikum salam!”
Arin tersentak, lalu bernapas
lega sambil menurunkan lututnya dan pundaknya yang hendak mendobrak pintu
kostnya. Ia pun masuk dengan muka agak bingung.
“Astaghfirullahal’adzhim!” Seru
Arin, matanya berpendar mengikuti kemana tisu berceceran hingga pandangannya
itu berhenti pada Aisyah yang menulis di atas kertas lalu meremas-remasnya,
setelah itu di lempar ke lantai.
“Ya Allah, Syah! Apa ini? Kamu
habis ngapain sih?” Kalau ada masalah itu dicerita, dicarikan solusi baik-baik
bukan malah membuat kamar jadi pecah belah gini”.
“Ini yang keseratus kalinya aku
menulis nama pak Imran, tapi tak juga bisa hilang dikepalaku”.
“Pak Imran? Memangnya ada apa
dengan pak Imran?” Tanya Arin dengan nada tinggi.
Aisyah memandangnya dengan mata sayu,
lalu kembali menulis dan melakukan treatment yang sama dengan kertas remasan
yang sudah berada dilantai.
“A…ia…soal pak Imran yah, aku
juga sudah dengar kok..yah…”
Aisyah tak menggubris ucapan
Arin, ia tetap pada pekerjaannya. Melihat sahabatnya seperti itu, ia mendekat.
Disimpannya tas yang sudah lama merangkul pundaknya di lantai. Ia pun memungut
kertas remasan itu dan membuangnya ke tempat sampah, tapi setiap kali habis ia
buang selalu saja ada lagi karena Aisyah tak henti-henti menlemparnya.
“Lemparlah sesuka hati kamu, aku
juga nggak tau harus bilang apa, toh biar aku kasi solusi juga kamu nggak
dengar”.
Aisyah tetap tak menggubrisnya,
justru air matanya yang mengalir ke pipinya yang tirus diiringi napas yang
tersedak-sedak”.
“Syah, udah dong! Aku lebih ingin
lihat kamu melempar ribuan kertas daripada nangis, jadi udalah!”
Aisyah berhenti menangis tapi
tanggannya tetap menulis. Ia tak sadar kalau kertas sidu ukuran A4 tinggal
empat lembar lagi.
Arin menghela napas dan kembali
memungut kertas yang berceceran, di saat bersamaan ia juga menambl tissue yang
yang menumpuk di depan kasur Aisyah.
“Udah habis, bagaimana ini! Rin,
kamu punya kertas bekas lagi nggak, aku mau pake, Rin!”
Kali ini giliran Arin yang tak
menggubrisnya, ia fokus memumungut tissue yang mengarah ke belakang pintu
kostnya.
“Arin! Arin! Teriak Aisyah
diiringi isak tangis.
“Arin!”
“Arin!”
“Syah! Berhenti! Sadar Syah!
Sadar! Aku mohon sadarlah!” Teriak Arin sambil mendekati Aisyah.
“Aku butuh kertas, aku nggak
butuh sadar Rin!”
“Tapi kamu harus sadar Syah!”
Ujar Arin sambil memegang bahu Aisyah.
“Nggak bisa Rin! Aku nggak bisa!”
Teriak Aisyah dengan isak tangis yang semakin deras.
Arin lalu memeluk sahabatnya itu
sambil terus menenangkannya. Ia juga tak tahu harus berbuat apa, semua yang
terjadi di luar kehendaknya. Pak Imran yang begitu sangat disukai Arin selama
tiga tahun ini ternyata pergi melamar tanre Arin. Sudah lama rupanya tante Arin
dan Pak Imran menjalin hubungan tapi Arin tak mengetahuinya. Karena itulah ia
merasa bersalah pada Arin, andai saja ia tau kalau Pak Imran dan tantenya punya
hubungan, ia pasti langsung memberi tahu Arin, hingga Arin tak perlu merasa
sakit hati sampai seperti ini. Pak Imran cinta pertama Aisyah, ia bukan
perempuan yang gampang jatuh cinta tapi disaat hatinya terpaut dengan seorang
lelaki justru ini yang ia dapatkan.
Pak Imran dan tante Arin juga tak
bersalah. Karena pertemuan yang terjadi dengan mereka sudah menjadi
kehendak-Nya. Sekarang yang harus dilakukan, tentunya menenangkan Aisyah, entah
sampai kapan Aisyah akan sakit hati. Tapi kisah cinta bertepuk sebelah tangan
yang dimilikinya cukup membendung rasa sakit yang luar biasa karna hampir
separuh hidupnya, pikirannya ia tumpahkan hanya demi pak Imran. Juara di
kelaspun ia raih karena motivasi pak Imran. Sekarang setelah apa yang terjadi,
Arin tidak tau apa Aiysah akan menjadi Aisyah yang seperti dulu lagi.
Komentar
Posting Komentar