Campuran

Cerita penghilang bosan JANGAN TUNGGU PENYESALAN

Cerita penghilang bosan JANGAN TUNGGU PENYESALAN


JANGAN TUNGGU PENYESALAN
By Chacha Asmad
Sore itu, aku dan sahabatku Rini pergi ke suatu tempat yang tidak pernah aku temui sebelumnya.
”Wow, it’s wonderful, the scenery is very beautiful.” Tanpa sadar, aku mengucapkan kata-kata kagum.” Pemandangan yang aku lihat sore itu sangat indah, mengalahkan kekagumanku pada pemandangan yang pernah aku temui.
            Di sana terdapat danau buatan yang sangat indah. Meskipun tidak terawat dengan rapi tapi danau-danau itu tampak elegan dengan nuansa alam yang mengelilinya. Bukan hanya itu saja, di tempat itu kita dapat merasakan sejuknya suasana di sore hari. Awan bagai selimut yang menghangatkan jiwa, pepohonan bagai penari yang menghibur diri, di tambah guyonan angin sepoi-sepoi yang terus menerus mengipas kerundungku dan Rini. Pemandangan itu membuat rasa syukurku bertambah terhadap nikmat Allah swt.
            Sesaat aku menikmati indahnya alam semesta, aku tiba-tiba melihat pemandangan yang membuat bibirku kaku. Namun hatiku terasa layu melihat pemandangan itu di sekitar danau. Ada sebuah gubuk tua yang dihuni  keluarga  miskin. Jumlah keluarga mereka sangat banyak, namun mereka tinggal di gubuk tua yang kecil itu.
            Tak kusangka ada orang dengan jumlah keluarga yang cukup besar tinggal di tepi danau.
“Sungguh kasihan, anak kecil yang berada di gubuk tua itu, nampaknya kebutuhannya akan gizi tidak dipenuhi,” kata Rini padaku.
            “Kamu betul juga, “ya sudah hari sudah nampak kecoklatan, lebih baik kita pulang sekarang,” ujarku.
Saat tiba di rumah aku tiba-tiba jatuh sakit. Entah apa yang terjadi padaku. Namun, kupikir itu cobaan yang harus aku hadapi sebagai hamba-Nya. Syukurlah, itu tak berlangsung lama, hanya tiga hari dua malam. Meski begitu, aku cukup membebani Rini, karena itu aku mengajaknya refreshing di pantai.
            Di sana aku menikmati pemandangan yang cukup menarik, tapi sayang pemandangan itu sirna akan hal yang tak kuinginkan. Sederetan wanita dan laki-laki sedang menjemur diri tanpa busana, laki-laki yang berduaan dengan wanita tanpa busana dan masih banyak lagi. Aku tak tahan melihat semua itu, tapi Rini sangat senang menikmati udar pantai, hingga kau menemaninya hingga gelap menjemput.
Sepulang dari pantai, tepatnya di tengah perjalanan ke rumah, bis yang aku tumpangi berhenti sejenak mengambil penumpang. Penumpang itu seorang wanita tua renta yang membawa kardus dan bungkusan besar. Dia berjalan dengan lemahnya dan duduk tepat didepan kursiku.
“Maaf nek? Nenek dari mana? Kenapa membawa barang bawaan sebanyak itu?” Tanyaku sambil memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kulitku yang keriput dan bernoda hitam membuat hatiku sedikit rapuh.
            “Saya habis jualan di pasar nak”
            “Jualan di pasar? Untuk apa nek? Nenek kan sudah tua? Apa masih sanggup?”
“Mau bagaimana lagi nak, saya harus menghidupi diri sendiri,”
“Lho, memangnya anak nenek ada di mana, kenapa dia tega membiarkan nenek hidup
seperti ini?”
“Anak saya sudah pergi keluar kota setelah menikah dan tidak kembali lagi
Perkataan nenek itu membuatku terharu dan sedih, “sudah tua masih berjualan, padahal dilihat dari kondisinya dia sudah tidak berdaya melakukan pekerjaan berat,” gumamku dalam hati, sampai tak sadar kalau lorong rumah kontrakanku sudah sampai.
            Tiba di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku. Karena lelah dari perjalanan jauh, tanpa sadar aku terbawa ke alam bawah sadarku. Sejenak mataku tertutup, tiba-tiba suara aneh membangunkanku,” cewek…cewek”...!!! Aku langsung terbangun. Dan ternyata itu adalah suara katak yang menandakan malam telah tiba. Tampaknya karena terlalu lelah aku tak sadar lagi malam dan siang telah silih berganti.
            Keesokan harinya, aku pergi ke mall bersama Rini. Karena banyak barang-barang menarik, aku membeli semuanya, tanpa sadar uang di kantongku tinggal 10 ribu rupiah.
            “Astagfirullah! uangku tinggal 10 ribu!”
            “Kamu kenapa?”
            “Rini boleh pinjam uang kamu tidak? Nih lihat, mana mungkin uang 10 ribu cukup untuk pulang ke rumah”
            Rini tersenyum lalu mengatakan kepadaku agar tidak perlu khawatir. Dia yang akan membayar uang transportasiku pulang. 
            Dalam perjalanan pulang, aku melihat kebakaran besar di sebuah rumah mewah yang berada di pinggir kota. Mataku langsung mengeluarkan air asin saat melihat kobaran api yang ganas, tubuhku ikut menggigil ketakutan diikuti mulutku yang tiba-tiba membeku. Aku benar-benar ketakutan melihat peristiwa kebakaran itu. Rini yang berada disampingku langsung mendekapku dan memintaku beristigfar terus menerus. Aku mengikuti sarannya, seperti seorang adik yang sangat patuh pada kakaknya. Bagiku dia memang seperti seorang kakak.
Pada saat aku turun dari mobil, aku sangat bahagia. Aku tak sabar lagi ingin membuak barang belanjaanku hingga tiba-tiba ada datang seorang lelaki yang merampas barang-barangku.
            “Tolong ada jambret, tolong!”
“Ada apa mbak?”
“Saya dijambret pak”
Orang–orang yang prihatin terhadap peristiwa yang aku alami, langsung mengejar penjambret itu lalu sahabatku Rini berusaha menenangkanku.
            “Sabar yah Nin, ini cobaan buat kamu!”
            “Bagaimana aku bisa sabar semua barang-barangku seharga satu juta rupiah itu,”ujarku sambil terisak-isak.
            “Ia saya tahu, tetapi kita bisa apa Nin?”
            Rini terus menerus menenangkanku, hingga beberapa menit kemudian masyarakat yang tdai mengejar penjambret itu datang tanpa barang bawaan. Air mataku semakin mengalir dan tubuhku refleks duduk diatas aspal. Rini ikut menangis melihatku, tapi ia hanya bisa mengelus-elus pundaku sambil memelukku.
Dua hari setelah kejadian itu, aku terus berdiam diri dalam kamar, lalu di saat bersamaan aku mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku baru saja ditipu orang, sehingga mereka tidak bisa memberiku uang selama 2 tahun.
            Aku sangat sedih mengetahui berita itu, uang yang diberikan kedua orang tuaku selama satu tahun telah aku habiskan bulan lalu dan uang untuk enam bulan kedepannya pun telah aku habiskan dengan barang yang telah di jambret.
Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa sekarang. Aku benar-benar menyesal atas apa yang terjadi padaku, Allah telah memperlihatkan banyak pelajaran untukku, namun aku tak sadarkan diri.
Nasi sudah jadi bubur dan aku tidak dapat mengulang waktu lagi. Hingga akhirnya aku memutuskan berhenti kuliah dan berusaha mencari pekerjaan.

Komentar